WACANA REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kabupaten Banyumas

WACANA REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

 

 Oleh  :

Drs. JOELIONO

WIDYAISWARA UTAMA

KANTOR DIKLAT KABUPATEN BANYUMAS

 

 KANTOR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KABUPATEN BANYUMAS

2013

 

 Wacana Revisi  Undang  Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi    

Pelemahan Atau Penguatan KPK ?

 

Drs. Joeliono

Widyaiswara pada Kantor Diklat Kabupaten Banyumas

 

 

Abstrak

 

        Wacana   upaya   untuk   merevisi  Undang  Undang  Nomor   30

Tahun 2002  tentang Komisi Pemberantasan Tindak  Pidana  Korupsi   yang sedang bergulir saat  ini di DPR banyak mengundang  sikap pro  dan   kontra  dilingkungan   masyarakat,  khususnya  dikalangan  para

tokoh  dan  pegiat   anti  korupsi,  yang  berpendapat  bahwa  langkah tersebut sebagai salah satu upaya sistematis untuk melemahkan KPK.

Sehingga banyak memancing   reaksi dari  elemen  masyarakat  yang

memiliki    komitmen    untuk    membentengi   dan   mempertahankan

keberadan KPK beserta  kewenangan yang dimiliki  sebagai lembaga  ”super-body” dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

Kata Kunci  :  Revisi, Komisi Pemberantasan Kprupsi, wewenang penyadapan, penuntutan, SP3, Dewan Pengawas

 

Beberapa waktu yang lalu dikalangan publik, khususnya para tokoh dan pegiat Anti Korupsi ramai membicarakan tentang upaya dan wacana revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat KPK), sehingga berakibat munculnya pendapat pro dan kontra karena wacana tersebut mencuat di permukaan di saat KPK sedang gencar-gencarnya mengungkap kasus korupsi berskala besar yang melibatkan beberapa politisi di lembaga perwakilan rakyat dan para pejabat publik baik di pusat maupun di daerah.
 

Sehingga banyak pihak menduga dan menuding upaya revisi yang sedang menjadi topik pembicaraan publik saat ini merupakan salah satu bentuk atau upaya ”pelemahan KPK” atau sebagaimana disinyalir oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas sebagai upaya ”balas dendam” terhadap kinerja KPK yang selama ini telah banyak berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dan perjabat publik.

          

Mengutip rilis yang disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam, bahwa terdapat sekitar 1.600 izin yang dikeluarkan Presiden. Mendagri dan Gubernur sejak Oktober 2004 untuk memeriksa Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, anggota DPR dan DPRD. Izin sebanyak itu mencakup pemeriksaan 3.000 orang sejumlah pejabat yang tersangkut persoalan hukum, baik korupsi atau kasus lain, dengan latar belakang partai dan jabatan yang telah memperoleh izin Presiden untuk dilakukan pemeriksaan  sejumlah 176, dengan rincian sebanyak 103 dari 176 pemeriksaan untuk Bupati/Walikota (58,52%), 31 untuk Wakil Bupati/Wakil Walikota (17,61%), 24 Anggota MPR/DPR (13,63%), 12 Gubernur (6,81%), 3 Wakil Gubernur (1,70%), 2 anggota DPD (1,13%) dan 1 Hakim MK (0,56%).

             

Terlepas dari benar-tidaknya tudingan sebagai upaya pelemahan lembaga dan kewenangan KPK, yang jelas inisiatif munculnya  draft revisi  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berasal dari DPR, dalam hal ini Komisi III, sehingga semakin memperparah tudingan tersebut lebih ditujukan kepada DPR yang semestinya harus tanggap terhadap aspirasi publik yang mendambakan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan oleh KPK harus didukung dan dikawal oleh semua pihak.

         

Sebagaimana dimuat dalam Harian Suara Merdeka, Hidayat Nur Wahid, sebagai Ketua Fraksi PKS dalam jumpa pers bersama Koalisi Penegak Citra Parlemen menilai bahwa DPR terus berupaya melemahkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada dua cara yang telah dilakukan DPR, yakni melalui anggaran dan revisi UU KPK, kemudian diperjelas lagi oleh pernyataan dari  Reza Syamawi, anggota Koalisi Penegak Citra Parlemen yang juga Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparancy International Indonesia (TII), bahwa jika diamati beberapa waktu terakhir, DPR merupakan salah satu aktor ”pelumpuh” terhadap upaya pemberantasan korupsi. Upaya pelemahan itu begitu nyata terlihat dalam 2 (dua) hal, yaitu upaya politisasi anggaran untuk menghambat pembangunan gedung KPK dan penggunaan fungsi legislasi untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengarah pada pelumpuhan KPK. Upaya pelumpuhan tersebut disinyalir dilatarbelakangi fakta bahwa saat ini KPK sangat gencar menangani kasus korupsi politik di DPR.

          

Menarik sekali untuk dicermati pernyataan dari Johan Budi, Juru Bicara KPK, merasa aneh dengan bantahan  dari DPR terkait pelemahan KPK. Dia mengatakan justru usulan revisi UU KPK dirasakan sebagai keinginan sepihak saja. Hal ini tampak dengan KPK tidak pernah dimintai pendapat seputar revisi Undang-Undang tersebut. Dirasakan sepihak karena memang dirasakan sejak awal, kami sama sekali tidak dimintai pendapat, tidak pernah diajak bicara soal keinginan anggota dewan untuk merevisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002. Di sisi lain, berdasarkan keterangan  resmi pimpinan KPK, revisi Undang Undang ini belum diperlukan.

         

Selanjutnya dikatakan bahwa sejak periode kedua pimpinan KPK, merasa Undang-Undang itu masih cukup efektif bagi KPK untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. (SM,01/10/12)

Demikian halnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai bahwa revisi UU KPK bukan keinginan seluruh legislator di Senayan. ” Itu sebenarnya kemauan beberapa oknum di DPR saja. Bisa dilihat beberapa orang yang gemar dan getol (mempermasalahkan kewenangan KPK)”.

          

Pendapat yang menunjukkan sikap kehati-hatian justru nampak pada diri Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, antara lain berpendapat kalaupun UU KPK tetap akan direvisi, kepentingan masyarakat dan penegakkan hukum harus tetap diutamakan. Selanjutnya Mega berharap agar kontroversi revisi UU KPK dapat menghasilkan diskursus yang mengarah ke keadaan yang lebih baik. (SM,02/10/12).

 

 Dinamika di Internal DPR

            

Hasil rapat Komisi III pada tgl. 3 Juli 2012, dalam pemandangan umum semua fraksi menyatakan setuju terhadap rencana revisi Undang –Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi, kecuali Fraksi PDIP yang secara tegas menolak.  Pandangan Fraksi pada saat itu lebih banyak menyinggung masalah kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penyadapan yang selama ini telah dimiliki KPK, juga rincian tugas KPK dalam melakukan supervisi, koordinasi dan penyadapan.   

          

Peta dukungan terhadap revisi Undang-Undang tentang KPK yang dikutip dari Harian Suara Merdeka tgl. 6 Oktober 2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


 

 

Fraksi

 

Sikap Awal

Sikap Saat ini

PD

Setuju menguatkan

Menolak

PG

Setuju (melemahkan)

Belum bersikap

PDIP

Menolak

Menolak

PKS

Perlu pendalaman

Menolak

PAN

Setuju menguatkan

Menolak

PPP

Setuju menguatkan

Menolak

PKB

Setuju menguatkan

Menolak

Gerindra

Setuju (melemahkan)

Menolak

Hanura

Setuju (melemahkan)

Menolak

Sumber  :  Risalah Rapat Pleno Komisi III 3 Juli 2012

 

            
Melihat tabel diatas nampak nyata bahwa terjadi dinamika di dalam tubuh lembaga legislatif. Terjadinya perubahan sikap dari sikap setuju perubahan kemudian berubah menolak (kecuali Partai Golkar yang belum bersikap) tidak diketahui secara pasti faktor penyebabnya. Tetapi jelas pada saat itu sudah mulai timbul reaksi yang sangat keras untuk menolak revisi Undang-Undang tersebut baik dari elemen masyarakat dan tokoh pegiat anti korupsi maupun akademisi.
 

Akibat dari perubahan sikap ini berakibat timbulnya berbagai macam pendapat atau dugaan dari masyarakat. Sementara  pihak menduga perubahan sikap yang terjadi disebabkan karena desakan atau tekanan publik yang secara tegas menolak dilakukannya revisi Undang-Undang  tersebut, sementara pihak lain menduga sebagai upaya pencitraan partai politik dalam rangka mendongkrak simpati dan nilai jual di mata masyarakat.

          

Pilkada DKI yang baru saja selesai bisa jadi menjadi salah satu pemicunya. Pasangan Foke-Nara yang didukung oleh partai-partai besar ternyata dapat dikalahkan oleh pasangan Jokowi-Ahok dalam perolehan suara yang hanya didukung oleh PDI Perjuangan dan Gerindra. Banyak pihak menilai kemenangan Jokowi-Ahok bukan karena mesin politik pendukung yang berjalan, tetapi lebih banyak karena figur, sehingga Pilkada DKI ini dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi Pilpres 2014.

          

Sementara itu , sejumlah anggota Komisi III membantah anggapan bahwa pihaknya tengah berupaya melemahkan KPK melalui revisi Undan-Undang KPK, bahkan mereka berpendapat kewenangan lembaga anti korupsi itu justru harus dipertahankan dan diperkuat.

           

Perkembangan baru yang terjadi justru karena draft revisi sudah sampai di tangan Badan Legislatif (Baleg) DPR, karena terjadi berbagai pendapat dan belum dapat dicapainya kesepakatan tentang kelanjutan pembahasan draft tersebut.

Wakil Ketua Baleg DPR Dimyati Natakusumah berpendapat bahwa Draft tersebut perlu didalami terlebih dahulu dan sesuai Tata Tertib DPR ada dua opsi untuk menanggapi draft revisi Undang Undang KPK yang diusulkan oleh Komisi III, yakni Komisi III diminta untuk menarik draft. atau merumuskan kembali draft tersebut, namun rupanya perkembangan lebih lanjut lebih cenderung agar pembahasan draft dimaksud tidak dilanjutkan dan dikembalikan ke Komisi III sebagaimana diusulkan  oleh A.Malik Haramain agar draft dikembalikan ke Komisi III karena selain bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi, mekanisme penyusunan RUU KPK di Komisi III dianggap bermasalah. Sementara Hendrawan  Supratikno menilai draft revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 seperti draft siluman kalau ternyata belum pernah melalui rapat pleno di Komisi III (SM, 02/10/12).
 

Walaupun ada sementara anggota Komisi III menyatakan bahwa pihaknya belum memutuskan untuk menarik revisi UU KPK karena mekanismenya berada di Baleg, sebagian lain menghendaki agar dibahas bersama-sama antara Komisi III dan Baleg.
 

Sikap yang tegas diperlihatkan oleh Fraksi PPP setelah secara resmi mengirimkan surat resmi kepada pimpinan DPR  untuk meminta agar pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dihentikan, dengan alasan draft revisi tersebut dinilai bertolak belakang dengan niat semula dari F.PPP untuk memperkuat KPK.  


Sikap saling melempar antara Badan Legislatif (Baleg) DPR dengan Komisi III nampak dari beberapa sikap yang muncul, karena Komisi III menolak membahas Draft RUU KPK dan menyerahkan kelanjutan pembahasannya kepada Baleg, dan direncanakan draft akan dibahas bersama antara Baleg dengan Komisi III pada tgl. 12  Oktober 2012. Tetapi kalau melihat salah satu butir dari pidato Presiden pada tgl. 8 Oktober 2012, yakni revisi draft RUU KPK tidak boleh memperlemah KPK dan tidak tepat apabila dilakukan pada saat seperti sekarang ini (SM,09/10/12),  ditambah desakan dari berbagai tokoh atau elemen masyarakat yang menuntut agar pembahasan revisi draft RUU KPK dihentikan, ada kecenderungan proses pembahasan di DPR akan reda, masalahnya bagaimana mekanisme penghentiannya yang akan dilakukan antara Baleg dengan Komisi III.             



Semula hanya Partai Golkar yang masih bersikap agar revisi tetap dilanjutkan karena berkaitan dengan hal yang justru dibutuhkan KPK, yakni masalah masa jabatan pimpinan KPK, penyidik independen dan Badan Pengawas, tetapi pada akhirnya Partai Golkar juga menarik dukungan terhadap revisi UU KPK. Sebagaimana diutarakan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) Setya Novanto bahwa FPG berharap agar KPK tetap fokus untuk melanjutkan penanganan kasus-kasus besar yang menjadi perhatian publik. Maka untuk menghentikan agar Baleg dan  Komisi III mencabut revisi RUU KPK     dari     Program     Legislasi     Nasional     (PROLEGNAS) 2010-2014.

(SM,11/10/12).

            

Dinamika yang berkembang kemudian memberikan rasa lega dan penuh harapan kepada publik terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi, ditanda dengan dikeluarkannya Draft revisi RUU KPK dari PROLEGNAS 2010 – 2014 dan disetujuinya anggaran untuk pembangunan gedung baru KPK oleh DPR, serta dukungan moral yang semakin meningkat terhadap KPK sehingga lebih  menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja KPK seperti yang telah ditunjukkan selama ini. Sekalipun demikian upaya untuk terus membenahi secara internal dalam tubuh KPK harus tetap dilanjutkan.

 

 Substansi Revisi

            

Perlu disadari bahwa  untuk merevisi UU KPK juga tidak sederhana, sebagaimana diutarakan oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin bahwa setidaknya harus melalui tiga langkah yang harus dilewati. Langkah pertama apakah semua fraksi bersepakat untuk merevisi. Langkah kedua seandainya semua fraksi bersepakat, apakah pemerintah juga menyetujui atau memiliki kehendak yang sama dan langkah ketiga ditangan Mahkamah Konstitusi apakah akan menyetujui atau membatalkan hasil revisi UU tersebut. 

            

Menurut Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM, mengatakan bahwa dalam proses legislasi, upaya pelemahan KPK bisa muncul dalam dua modus, yakni constitutional review dan legislative review Undang-Undang KPK. Constitutional review adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan legislative review adalah upaya perubahan Undang Undang KPK di DPR. Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan antara lain bahwa constitutional review Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi kurang lebih sudah dilakukan sebanyak 17 kali untuk diuji konstitusionalitasnya berhadapan dengan UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kewenangan strategis KPK, seperti penyadapan, penuntutan dan tidak adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) (SI,02/10/12)

           

Secara substantif upaya revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK berfokus pada 4 (empat) hal, yakni penuntutan agar menjadi kewenangan Kejaksaan, Penyadapan oleh KPK harus terlebih dahulu memperoleh ijin dari Ketua Pengadilan, pemberian kewenangan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada KPK dan pembentukan Dewan Pengawas KPK.

        

Kalau kita cermati justru kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan terutama penyadapan merupakan kewenangan strategis sekaligus kekuatan dan ”roh” nya KPK. Prestasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi justru karena ditopang dengan kekuatan dan kewenangan strategis yang selama ini telah dimiliki KPK. Sehingga apabila kewenangan yang sudah dimiliki tersebut, khususnya penuntutan dan  pasal-pasal yang mengatur penyadapan ”dikebiri” melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kemungkinan yang terjadi KPK akan menjadi ”lumpuh” bahkan ”mati suri”.

         

Pertamakewenangan penyadapan yang telah dimiliki KPK terbukti sangat efektif sekali dalam mengungkap kasus-kasus korupsi, sehingga tidak perlu dipermasalahkan karena dikontrol sangat ketat melalui audit internal KPK sendiri dan secara eksternal oleh Kemenkominfo. Seandainya kegiatan penyadapan harus memperoleh ijin dari Ketua Pengadilan dikhawatirkan akan menjadi tidak efektif, dan bagaimanapun juga karena menyangkut rahasia negara harus kedap rahasia dan sedini mungkin dicegah agar tidak terjadi kebocoran, sehingga pada saat yang sama akan mempersulit operasional KPK dalam menjalankan fungsi penyelidikan terhadap kasus korupsi.

         

Kedua kewenangan penuntutan yang selama ini sudah menjadi salah satu kewenangan KPK, apabila dihilangkan dan menjadi kewenangan kejaksaan, dikhawatirkan KPK akan mengalami kelumpuhan, karena kewenangan penuntutan tidak hanya boleh dimiliki oleh kejaksaan. Justru penyatuan kewenangan untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang secara bersama-sama ada ditangan KPK menjadi kekuatan utama KPK. Dan fakta persidangan menunjukkan bahwa dengan penyatuan kewenangan seperti tersebut diatas membuktikan hampir semua pelaku korupsi (koruptor) yang diajukan ke pengadilan Tipikor tidak bisa lepas dari jerat hukum. Upaya untuk menggugat secara hukum terhadap kewenangan penuntutan yang dimikliki KPK telah dikuatkan konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi.

          

Ketiga pemberian kewenangan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada KPK. Upaya untuk memberi kewenangan SP3 karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) sudah diuji dihadapan Mahkamah Konstitusi, dan sesuai keputusan MK alasan itu ditolak.



Fakta selama ini memberikan indikasi bahwa dalam mengambil langkah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK tetap menunjukkan kehati-hatian, diperkuat fakta di persidangan bahwa hampir semua terdakwa koruptor tidak bisa lepas dari pemidanaan. Karena dalam proses penetapan tersangka minimal harus didukung 2 alat bukti yang kuat dan tanpa disadari justru karena KPK tidak diberi kewenangan SP3, maka tindakan sewenang-wenang dapat dicegah sedini mungkin.



Demikian pula dalam langkah penindakan, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat membahayakan hak-hak dan kebebasan masyarakat, menurut Abdullah Hehamahua dalam Arya Maheka (tanpa tahun) harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut  :

1. Hukuman bagi koruptor harus mengandung unsur jera dan unsur pendidikan. Jadi penjatuhan hukuman bukan sekedar pembalasan kepada atau membuat jera si pelaku.

2.  Penindakan harus bisa mengembalikan uang negara yang dikorup.

3.  Penindakan harus ada prioritas, dimulai dengan instansi penegak hukum,   lembaga pelayanan publik, pejabat tinggi negara dan elit politik.

4. Penyidik dan penuntut harus memiliki komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi serta dilengkapi dengan peralatan canggih dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

5.  Masyarakat harus mendukung proses supremasi hukum.  

 

Keempat, munculnya ide untuk membentuk Dewan Pengawas harus disikapi secara arif, karena KPK sebagai komisi negara yang independen membutuhkan suatu kekuatan ekstra untuk menjaga independensinya.

Maka apabila dibentuk Dewan Pengawas justru membuka peluang terjadinya intervensi dari pihak-pihak tertentu yang akan membatasi ruang gerak KPK. Apalagi  selama ini pengelolaan keuangan di KPK sudah diawasi oleh BPK dan aspek kinerja diawasi oleh DPR.

         

Upaya penguatan KPK melalui kewenangan yang sudah dimiliki perlu didukung oleh semua pihak , sehingga KPK benar-benar dapat menjadi ”momok” bagi para koruptor. Mengurangi atau bahkan menghilangkan kewenangan strategis berarti menjadikan KPK menjadi  lembaga ”tanpa taring” atau ”banci”, dan akan memberikan ruang gerak dan para koruptor untuk melakukan aksinya.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Maheka, Arya ( tanpa tahun),  Mengenali dan Memberantas Korupsi,              Komisi Pemberantasan Korupsi,Jakarta

 

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

 

Harian Suara Merdeka, Periode September – Oktober 2012

 

Harian Seputar Indonesia, 2 Oktober 2012

 

 


 


18 02 2013 12:21:5