Korupsi dan Fenomena Transferensi

Kabupaten Banyumas

Oleh: Limas Sutanto
Kompas, 28 Maret 2008
Hari-hari ini agaknya menjadi saat yang gelap penuh ketakutan bagi para tersangka koruptor
Indonesia. Sebaliknya, hari-hari ini menjadi saat yang cerah penuh sukses bagi para petugas
pemberantas korupsi.
Banyak pejabat membanggakan keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret
beberapa tersangka koruptor ”besar” ke pengadilan. Mereka menyatakan, hal ini belum pernah
terjadi pada masa pemerintahan sebelum SBY-JK. Inilah pergelaran paradigma penindakan
represif yang mendominasi pemberantasan korupsi negeri ini. Agaknya pemerintah dan rakyat
asyik dengan aneka penindakan represif itu. Maka, relevan dipertanyakan, dapatkah penindakan
represif menghentikan korupsi secara bermakna?
Warga negeri ini sadar, korupsi pada bangsa ini begitu ”meresap mendalam” (pervasive). Hampir
semua warga, termasuk sejumlah pejabat pemberantas korupsi, terkena korupsi. Pada perspektif
ini, sekadar paradigma penindakan represif tidak akan mencukupi, sekaligus kurang rasional.
Jika semua warga tidak bebas korupsi, lalu siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas untuk
menjadi pejabat pemberantas korupsi? Siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas menindak
tersangka koruptor? Terkuaknya beberapa indikasi keterlibatan jaksa, polisi, hakim, dan pejabat
KPK dalam suap dan pemerasan terkait penindakan tersangka koruptor menjadikan aneka
pertanyaan itu patut direnungkan.
Persoalan psikososial
Korupsi pada bangsa ini perlu dipahami sebagai persoalan psikososial sistemik yang terjadi karena
fenomena psikodinamik nirsadar. Oleh Freud, hal ini disebut “transferensi”. Makna kontekstual
transferensi adalah pemindahan nirsadar pola-pola relasi masa lampau bangsa dengan penjajah
ke realitas relasi antara penguasa dan rakyat di Indonesia masa kini.
Pola-pola relasi yang ”dipindahkan” secara nirsadar (ditransferensikan) itu berupa: pertama,
kebiasaan bangsa penjajah (penguasa) memeras dan memalak bangsa terjajah (rakyat).
Kedua, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman bangsa
penjajah (penguasa) dengan cara apa pun, jika perlu dengan mengorbankan sesama warga
terjajah (rakyat).
Ketiga, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) bertindak menjilat penjajah (penguasa) demi
keselamatan diri.
Keempat, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) memberi upeti kepada penjajah (penguasa).
Kelima, kebiasaan suatu lapisan bangsa terjajah (rakyat) untuk menekan dan memeras sesama
warga terjajah (rakyat) yang ada pada lapisan yang lebih rendah.
Perwujudan kelima pola relasi itu secara menyejarah membuahkan pemiskinan bangsa terjajah
(rakyat). Pemiskinan itu merupakan pengalaman deprivasi (pengalaman kekurangan mendasar),
yang tidak bisa tidak menimbulkan aneka tagihan di tengah perjalanan kehidupan bangsa terjajah,
termasuk saat bangsa terjajah (rakyat) telah meraih kemerdekaan formal.
Tanpa sadar, transferensi itu ”dikirimkan” dua kelompok tenaga utama yang menggerakkan
korupsi sistemik ke seluruh lapisan kehidupan bangsa Indonesia masa kini dan ke depan.
Pertama, kelompok tenaga yang berakar dalam pengalaman deprivasi, yang selalu memunculkan
aneka letupan tagihan untuk merasakan kepemilikan dan keberlimpahan material dalam kehidupan
seluruh warga hari ini dan ke depan. Kedua, kelompok tenaga yang berakar dalam kelima
kebiasaan berelasi antara bangsa terjajah (rakyat) dan penjajah (penguasa).
Pendidikan bermutu
Pemahaman tentang korupsi sebagai masalah psikososial sistemik berlatar belakang fenomena
transferensi, mengantar kita ke kesadaran bahwa bangsa ini tidak akan kunjung berhasil
menghentikan korupsi secara bermakna hanya dengan upaya pemberantasan korupsi yang
bertitikberatkan tindakan represif. Korupsi niscaya dihentikan dengan ”mengatasi transferensi”
(working through the transference), yang dapat dijabarkan dalam tiga tindakan.
Pertama, tindakan bersinambung menyelesaikan pengalaman deprivasi bangsa Indonesia, dengan
meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan seluruh warga. Hal ini meniscayakan pemerintah
benar-benar mengejawantahkan aneka program ekonomi prokesejahteraan rakyat banyak. Gegap
gempita tindakan represif tanpa pengejawantahan program ekonomi pro-rakyat hanya cermin
ketakrasionalan.
Kedua, pendidikan bermutu dan bersinambung bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan bermutu
akan membuka dan memperluas wawasan kehidupan sehingga bangsa ini tidak terbelit
otomatisme nirsadar pola-pola relasi koruptif yang berakar dalam sejarahnya. Pendidikan bermutu
harus dijadikan program berprioritas tinggi.
Ketiga, kampanye sistemik bersinambung guna menumbuhkembangkan kesadaran bahwa korupsi
itu keliru, merugikan, dan jahat. Kampanye ini amat diperlukan guna mematahkan pola-pola pikir
otomatis nirsadar (automatic thoughts) yang membolehkan korupsi dan memandang korupsi
sebagai hal biasa.
Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Pengajar Psikoterapi dan Konseling di Universitas
Negeri Malang


19 06 2012 14:56:09