KINERJA LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Kabupaten Banyumas

OleH : Goto Kuswanto, SIP.MM  - WIDYAISWARA MADYA KANTOR DIKLAT KABUPATEN BANYUMAS

ABSTRAK

Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berjalan cukup lama. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah banyak pejabat negara dan wakil rakyat yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Pada tahun 2011, Country rank Year CPI Score Indonesia baru sebesar 3,0.  Country rank Year CPI Score mengurutkan negara-negara dalam derajat korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi.

Kata Kunci : Kinerja Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia

A.    Pendahuluan

Salah satu hasil dari Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) (Mochammad, 2009: 2).
Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di orde reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif (Mochammad, 2009: 3).
Lembaga pemberantasan korupsi sudah banyak dibentuk untuk memberantas korupsi yang telah mendudukan Indonesia sebagai negara korup dengan indeks kepercayaan masyarakat masih jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Kinerja lembaga pemberantasan korupsi perlu dievaluasi agar dapat mengetahui permasalahan belum bekerjanya lembaga tersebut secara optimal.

B.    Pengertian Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Mengenai pengertian tindak pidana sendiri sejak dulu telah banyak diciptakan oleh para sarjana, salah satunya yaitu yang diungkapkan oleh Prof. Muljatno dengan menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut ujudnya atau sifatnya perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.” (Saleh, 1983 : 16).
Sedangkan mengenai pengertian korupsi, menurut arti katanya korupsi berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus yang artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari kesucian, perkataan yang menghina atau memfitnah. Dalam perkembangan selanjutnya kata korupsi dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat disuap (Mariyanti, 1986 : 197). Menurut K Soeparto, perkataan Corruptio mempunyai banyak makna, yaitu bederven (merusak), schenden (melanggar), dan omkopen (menyuap). Pers acapkali memakai istilah korupsi dalam arti yang luas, mencakup masalah-masalah tentang penggelapan (Bassar, 1983 : 77).
Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa latin: corruptio = penyuapan, corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran (Jhon dan Hasan, 1997: 149). Dalam pengertian lain dapat dikatakan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Kramer, 1997: 62).

Ciri-Ciri dan Faktor Penyebab Korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut :
a.     Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud).
b.     Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
c.     Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d.     Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e.     Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f.     Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
g.     Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan (Hartanti, 2007: 10-11).
Pengembangan tipologi korupsi menurut Vito Tanzi adalah sebagai berikut :
a    Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
b    Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
c    Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengatisipasi adanya keuntungan di masa datang.
d    Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.
e    Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
f    Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
g    Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasaan (Chaerudin, 2008: 2).
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a.     Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b.    Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c.    Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
d.     Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
e.     Tidak adanya sanksi yang keras.
f.     Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
g.     Struktur pemerintahan.
h.     Perubahan radikal. Pada sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
i.     Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat (Hartanti, 2007: 11).

Korupsi dalam UU no. 31 tahun 1999 merupakan perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Praktek korupsi dilihat dari segi bentuknya terdiri dari:
1.    Lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi yang dikategorikan sebagai material corruption.
2.    Perbuatan manipulasi dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan/atau campur tangan yang dikategorikan sebagai political corruption.
3.    Menyangkut manipulasi dalam bidang ilmu pengetahuan/hak cipta atau disebut intellectual corruption (Lopa. 2001: 70).
Korupsi melanggar hak asasi berupa hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dipandang sebagai “extra–ordinary crime” (kejahatan yang luar biasa yang memerlukan penanganan secara luar biasa pula. Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali membentuk lembaga yang menangani masalah korupsi. Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa Belanda mengenal istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara. Sementara di Indonesia, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara, atau organ negara.
 
C.      Kinerja Lembaga Antikorupsi  

Beberapa lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk selama kurun waktu tahun 1967-2008 sebagai berikut:
1.    Nama Tim: Tim Pemberantas Korupsi
Jenis peraturan:
Keppres 228/1967 tertanggal 2 Desember 1967.
Pelaksana:
Mayjen Sutopo Juwono, Laksda Sudomo, Komodor Saleh Basarah, Brigjen Pol Soebekti, Jaksa Agung Muda Priyatna Abdurrasjid SH dan Kusnun SH Satgas:unsur kejaksaan, ke-4 angkatan, ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers dan kesatuan-kesatuan aksi.
Tugas/Sasaran:
Membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan bersifat refresif maupun preventif.
Hasil: na

2. Nama Tim: Komisi empat
Jenis peraturan:
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970.
Pelaksana: :
Komisi ini terdiri 4 orang: Wilopo SH (ketua merangkap anggota), IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, Mayjen Sutopo Juwono (Ketua Bakin) sebagai sekretaris.
Tugas/Sasaran:
Menghubungi penjabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau militer. Memeriksa dokumen-dokumen administrasi pemerintah, swasta, dan lain-lain. Minta bantuan pada aparatur negara pusat dan daerah.
Hasil:
Setelah bekerja 5 bulan, tugas Komisi IV selesai dengan menghasilkan pertimbangan:
a.    Laporan dan saran-saran agar kegiatan Jaksa Agung dan TPK diperkuat dengan tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman dan penuntut umum harus bertindak tegas tanpa pandang bulu.
b.    Masalah Pertamina, tidak pernah bayar pajak sejak tahun 1958-1963. Dan juga mengenai Pertamina mempunyai 3 anak perusahaan, dimana hal ini bertentangan dengan UU No 19/1960.
c.    Masalah penebangan hutan yang harus disertai penanaman kembali.
d.    Tahun 1970, Bulog defisit Rp 12,871 milyar.
e.    Penyederhanaan struktur dan administrasi negara. Tiap pejabat atasan harus memperhatikan agar semua peraturan dipegang teguh agar tidak terjadi penyelewengan.

3. Nama Tim: Komite Anti Korupsi (KAK)
Jenis Peraturan :
Keppres 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970
Pelaksana :
Angkatan 66 yaitu: Akbar Tandjung, Mishael Setiawan, Thoby Mutis, Jacob Kendang, Imam Waluyo, Tutu TW Soerowijono, Agus Jun Batuta, M Surachman, Alwi Nurdin, Lucas Luntungan, Asmara Nababan, Sjahrir, Amir Karamoy, E Pesik, Vitue, Mengadang Napitupulu, dan Chaidir Makarim.
Tugas/Sasaran:
Kegiatan diskusi dengan pimpinan-pimpinan partai politik dan bertemu dengan presiden Soeharto menanyakan masalah korupsi. Catatan:KAK dibubarkan tanggal 15 Agustus 1970 setelah bekerja 2 bulan.

4. Nama Tim: OPSTIB
Jenis Peraturan:
Inpres 9/1977
Pelaksana:
Koordinator pelaksana: MenPAN
Tingkat Pusat:
Pelaksana Operasional:
Pangkopkamtib
Ketua I: Kapolri
Ketua II: Jaksa Agung dengan para Irjen
Tingkat Daerah:
Pelaksana Operasional: Laksusda
Ketua I: Kadapol
KetuaII: Kejati dan para Irwilda.
Tugas/Sasaran
Sasaran Opstib pada mulanya mengadakan pembersihan pungutan liar di jalan-jalan. Kemudian diperluas meliputi penertiban uang siluman di pelabuhan-pelabuhan dan pungutan resmi namun tidak sah menurut hukum. Sejak Agustus 1977, sasaran penertiban beralih dari jalan raya ke aparat pemerintah daerah dan departemen.
Hasil:
Hasil yang diperoleh Opstib dari juli 1977 hingga Maret 1981, ditangani 1.127 perkara yang melibatkan 8.026 orang dengan beberapa kasus besar yaitu: Kasus Korupsi di Markas Besar Polri dengan uang yang diselewengkan sebesar Rp 4,8 milyar. Kasus Pluit, Endang Wijaya yang berhasil mengambil uang negara sebesar Rp 22 milyar. Kasus Arthaloka yang diketahui tanggal 11 Agustus 1978 mengenai ketidakberesan tanah dan penyalahgunaan uang dropping pembangunan gedung Arthaloka Rp 957.193.129 oleh PT MRE, sebuah perusahaan real estate.

5. Nama Tim: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi. Namun Keppres mengenai TPK ini tidak pernah terwujud.
Pelaksana:
MenPAN Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua MA Mudjono SH, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Jenderal (Pol) Awaluddin Djamin MPA.
Tugas/Sasaran:
na
Hasil:
na

6. Nama Tim: Tim Gabungan Antikorupsi
Jenis Peraturan:
Mengacu pada UU No 31/1999 tentang Komisi Antikorupsi PP No 19 Th 2000.
Pelaksana:
Ketua: Andi Andojo Soetjipto, Didukung 25 orang anggota termasuk anggota kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Jaksa yang masih aktif serta aktivis kemasyarakatan.
Tugas/Sasaran:
Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Hasil:
na

7.    Nama Tim: Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)  
Jenis Peraturan:
•    UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN
•    UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
•    PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
•    PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Tugas/Sasaran:
Mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.
Hasil:
2004
•    Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.
•    Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank Dunia (2004)
•    Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004)
•    Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih. (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk.
•    Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004)
•    Dugaan telah terjadinya TPK atas penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN. (2004)
2005
•    Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005)
•    Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc dan Hamdani Amin (2005)
•    Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan tersangka Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh. (2005)
•    Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka Harini Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Suhartoyo dan Triyadi
•    Dugaan korupsi perugian negara sebesar 32 miliar rupiah dengan tersangka Theo Toemion (2005)
•    Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005)
2006
•    27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar. Tribun Kaltim
•    22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani pemeriksaan Hari Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp 47 miliar. Selain Hendy, turut pula ditahan mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Warsa Susilo. Tempo Interaktif
•    21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel Darham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan uang taktis. Sjachriel Darham sudah lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan. Tempo Interaktif
•    30 November - Jaksa KPK Tuntut Mulyana W. Kusumah 18 Bulan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004. Tempo Interaktif
•    30 November - Menahan bekas Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, Eda Makmur. Eda diduga terlibat kasus dugaan korupsi pungutan liar atau memungut tarif pengurusan dokumen keimigrasian di luar ketentuan yang merugikan negara sebesar RM 5,54 juta atau sekitar Rp 3,85 miliar. Tempo Interaktif
•    30 November - Menahan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004. Rokhmin diduga terlibat korupsi dana nonbujeter di departemennya. Total dana yang dikumpulkan adalah Rp 31,7 miliar. Tempo Interaktif
•    2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama 11 jam di gedung KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63 miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dianggarkan pada 2003-2004. Tempo Interaktif
•    19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. setelah diperiksa KPK dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit tanpa jaminan, dimana negara dirugikan tak kurang dari Rp 440 miliar.  
2007
•    Perkara atas nama Liem Klan Yin berhubungan dengan penjualan aset tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung; Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rpl .000.000.000,00 subsidair 10 bulan, uang pengganti Rp24.006.438.333,00; apabila uang tidak dibayar harta akan dista dan dilelang, apabila harta yang dilelang tidak mencukupi penjualan aset tanah milik PT Industri Sandang Nusantara (Persero) Cabang Bandung;
•     Perkara atas nama Rusadi Kantaprawira berhubungan dengan pengadaan tinta untuk kepentingan Pemilu Legislatif; Putusan: pidana penjara 4 tahun, denda Rp 200000000,00 subsidair 2 bulan kurungan;
•    Perkara atas nama terdakwa Malem Pagi Sinuhaji berhubungan dengan percobaan pot iyuapan kopada hakim pada MA dalarn perkara kasasi Probosutedjo; Putusan: pidana penjara 3 tahun 6 bulan, denda Rp 150.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar digant dengan kurungan 6 bulan;
•    Perkara atas nama Fahrani Suhaimi berhubungan dengan pengadaan pemancar RRI TA 2003; Putusan: pidana penjara 10 tahun, denda Rp 300.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan 6 bulan, uang pengganti Rp 9.640.568.857,00;
•    Perkara atas nama terdakwa Abubakar Ahmad berhubungan dengan pengeluaran atau penggunaan dana yang tidak sesuai dengan peruntukannya pada Dana Tak Tersangka APBD Kab. Dompu TA 2003, 2004, dan 2005; Putusan: pidana penjara 2 tahun, denda sebesa Rpl80.000.000,00 apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 3 tahun, uang pengganti sebesar Rp655.000.000,00 paling ama dalam waktu 1 bulan setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila uang pengganti tidak dibayar akan dipidana selama 6 bulan penjara;
•    Jumlah uang negara yang berhasil diselamatkan KPK dihitung berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan bukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti, dan denda sebesar Rp 119.976.472.962,00.

Efektifitas berarti pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang ditentukan. Untuk penentuan alat indikator efektifitas KPK dapat dilhat dari beberapa hal, yaitu:

Pertama, indikator makro yang terdiri dari survey CPI, Internal Country Risk Group. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International mengurutkan negara-negara dalam derajat korupsi tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Ini merupakan indeks yang padat, yang digambarkan berdasarkan data yang berhubungan dengan korupsi dalam survei ahli yang dilakukan oleh berbagai lembaga terkemuka. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi. Penanggung jawab IPK Transparency International adalah Johann Graf Lambsdorff, seorang profesor dari universitas di Passau, Jerman. Pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemajuan yang positif meskipun tidak signifikan. Survey tersebut merupakan gambaran secara umum tentang pendapat masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi. CPI Indonesia disusun dari sebelas variabel yang diukur dari jawaban responden yang berasal dari pelaku bisnis. Variabel tersebut antara lain prosedur Pengajuan ijin usaha, prosedur pelayanan umum, penggelapan oleh pejabat publik.
Kedua, indikator Pelayanan Publik. Indikator pelayanan publik dapat dilihat dari survey yang dilakukan oleh Transparency International bahwa dari 50 kota, CPI Indonesia 2008 dihasilkan dari total rata-rata dari variabel survey di masing-masing kota. Berdasarkan formulasi tersebut, maka didapatkanlah IPK Indonesia 2008, dengan skor tertinggi 6,43 (Jogjakarta), dan skor terendah 2,97 (Kupang). Rata-rata dari total skor untuk 50 kota adalah 4,42.
CPI Indonesia 2008 menunjukkan bahwa di kota-kota seperti Jogjakarta, Palangkaraya dan Banda Aceh, pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek suap dan korupsi tidak lazim dilakukan oleh aparat pemda kota. Sebaliknya, di kota yang mendapatkan skor rendah seperti Kupang dan Tegal, dapat disimpulkan bahwa pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek korupsi masih lazim dilakukan. Hal ini berarti kampanye anti korupsi yang dilakukan KPK dengan melakukan pengumpulan dukungan dan komitmen anti korupsi yang dilakukan oleh KPK telah cukup berhasil dengan membentuk suatu persepsi anti korupsi di daerah.
Ketiga, indikator Kinerja Penegakan Hukum. Indikator ini bukan hanya dari sisi KPK saja, karena KPK menangani kasus korupsi dengan dugaan kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00. Dari beberapa indikator diatas tentunya yang paling disorot adalah kinerja KPK dalam mengungkap kasus Korupsi besar.
Data dari ICW menunjukkan modus korupsi terbesar yang terungkap selama semester 1 tahun 2010 adalah modus penggelapan dengan 62 kasus, diikuti modus mark up 52 kasus, proyek fiktif 20 kasus, penyalahgunaan anggaran 18 kasus dan suap 7 kasus. Telah terjadi pergeseran modus dimana modus tertinggi selama semester I tahun 2009 adalah modus penyalahgunaan anggaran tertinggi dengan 32 kasus Sedangkan di semester I tahun 2010 modus penggelapan merupakan yang paling dominan dengan 62 kasus. Sinyalemen ICW mengkaitkan pergeseran tersebut dengan kondisi politik yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 yang merupakan tahun persiapan menjelang pemilukada. Modus penggelapan, umumnya terkait dengan penyimpangan dana yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana-dana bantuan sosial (bansos), yang marak terjadi tahun 2008 dan 2009.
 
Sumber: Indonesia Corruption Watch

Meskipun data dari ICW menunjukkan keuangan daerah tetap sebagai sektor yang paling rawan dikorupsi dengan APBD sebagai objek korupsinya, sebenarnya upaya-upaya pengelolaan anggaran daerah oleh pemerintah daerah telah menunjukkan hasil. Hal ini ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tahun 2009 yang menunjukkan aspek transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah terhadap pengelolaan anggaran daerah menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan yakni cukup optimal. Hasil yang ada menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mendorong proses transparansi dan akuntabilitas perlu diapresiasi. Sedangkan tingginya tingkat korupsi APBD berdasarkan data ICW dapat dimaklumi karena sektor anggaran merupakan sumber utama penyedia dana yang berpotensi untuk dikorupsi.
 
Sumber: Indonesia Corruption Watch

Dalam hal ketersediaan dokumen, pemerintah daerah pada umumnya telah membuat dokumen yang ada kecuali Informasi Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah (ILPPD). Sesuai dengan amanat PP No 3 / 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mengharuskan Pemda membuat dan mempublikasikan ILPPD kepada masyarakat. Ada dua kondisi yang menyebabkan kelangkaan ini, yaitu: (i) Pemerintah kurang memberikan perhatian untuk membangun mekanisme akuntabilitas dan transparansi publik melalui dokumen ILPPD; (ii) Beberapa daerah yang diteliti menyatakan belum mengetahui adanya aturan ini sehingga tidak membuatnya.
Dari sisi publikasi dokumen anggaran, penelitian ini menunjukkan daerah yang paling banyak mempublikasikan dokumen perencanaan penganggaran baik melalui website maupun media lainnya adalah Kota Pare-Pare. Sementara itu, pemerintah daerah yang hanya mempublikasikan satu dokumen anggaran adalah Kabupaten Bone, Kabupaten Polman, Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Malang.
Daerah yang paling sulit untuk diakses dokumen anggarannya adalah Kabupaten Cilacap. Terdapat 18 (90%) dari 20 dokumen yang tidak bisa diakses di daerah tersebut, diikuti oleh Kota Banjar dengan 12 dokumen (60%) dan Kota Blitar dengan 10 (50%) dokumen. Sementara itu, masih ada 27 daerah lainnya dengan rata-rata 5–7 dokumen anggarannya yang tidak bisa diakses di daerah-daerah tersebut.
Aspek akuntabilitas pengelolaan anggaran oleh pemerintah daerah menunjukkan hasil yang relatif baik di semua tahapan pengelolaan anggaran, khususnya pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Pada tahap perencanaan memiliki kinerja akuntabilitas sangat tinggi karena dokumen-dokumen perencanaan, umumnya bisa dibuat tepat waktu disertai adanya wahana bagi publik untuk terlibat.
Demikian halnya pada tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tantangan pemerintah daerah dalam mendorong akuntabilitas publik perlu dikuatkan pada tahap pembahasan. Seringkali pada tahap ini, legislatif dan eksekutif gagal dalam penyediaan ruang pertanggungjawaban kepada publik. Salah satunya adalah ketepatan waktu dalam pembahasan dokumen anggaran yang seringkali molor dari waktu yang diatur dalam perundang-undangan.
Dalam penelitian Seknas Fitra tersebut juga menunjukan bahwa mayoritas pemerintah daerah telah memiliki standar harga yang diperbaharui setiap tahunnya. Standar harga merupakan kebijakan penting yang harus ditetapkan oleh pemerintah sebagai rujukan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam proses p


30 08 2012 14:56:07